KOMIU

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting dalam melakukan analisis terkait pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu Provinsi. Pertumbuhan ekonomi menunjukan progress aktifitas perekonomian akan menghasilkan tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu. Pada dasarnya aktifitas perekonomian adalah suatu proses penggunaan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan output, maka proses ini pada gilirannya akan menghasilkan suatu aliran balas jasa terhadap faktor produksi yang dimiliki oleh masyarakat. (Wulandari, 2015).

Salah satu Provinsi di Indonesia yang mengembangkan komoditas perkebunan kelapa sawit salah satunya adalah Provinsi Sulawesi Tengah. Kondisi ini didukung dengan keadaan iklim dan tanah yang sesuai dengan syarat tumbuh bagi tanaman perkebunan tahunan. Kelapa sawit (Elaeis guinensis jack) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki peranan penting dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani dan masyarakat. Sampai saat ini, komoditi kelapa sawit termasuk salah satu komoditi yang memiliki nilai ekonomi tinggi jika ditinjau dari prospek pasar domestik maupun internasional.

Kelapa sawit (Elaeis guinensis jack) merupakan salah satu jenis tanaman perkebunan yang menduduki posisi terpenting pada sektor pertanian. Sebagai tanaman tahunan (Prenial Crop), kelapa sawit dikenal periode Tanam Belum Menghasilkan (TBM) yang memiliki variasi fase pertumbuhan sekitar 2 s.d 4 tahun tergantung faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kembang tumbuhnya. Inilah yang menyebabkan kelapa sawit mampu menghasilkan nilai ekonomi terbesar perhektarnya jika dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak nabati lainnya. Prospek pasar bagi produk olahan dari kelapa sawit sangat menjanjikan, karena permintaan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan cukup besar.

Perkebunan kelapa sawit di Sulawesi Tengah merupakan salah satu sector ekonomi makro yang memiliki peranan strategis yang antaralain: penyumbang devisa, penggerak perekonomian kabupaten, pendorong ekonomi masyarakat dan penyerap tenaga kerja. Pertumbuhan sektor industri perkebunan kelapa sawit Sulawesi Tengah berkembang pesat dari tahun 2000 s.d 2019, pola ini dapat terukur dari meningkatnya eksisting tanaman produktif kelapa sawit yang pada tahun 2000 hanya seluas 64.210 hektar kemudian meningkat sebesar 237% ditahun 2019 menjadi 152.184 hektar[1].

Untuk memonitoring praktik-praktik tata kelola perkebunan kelapa sawit terkait lahan maka diperlukan referensi kebijakan-kebijakan sebagai berikut:

  • Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.

Pasal 37 (Kegiatan Perkebunan dalam Kawasan Hutan), Pasal ini memuat perubahan pada beberapa pasal dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan hutan. Regulasi ini banyak menyangkut kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan seperti:

    1. Melarang adanya kegiatan perkebunan di kawasan hutan tanpa perizinan berusaha. kegiatan ini termasuk membawa serta memanfaatkan alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim digunakan untuk kegiatan perkebunan. Peraturan ini juga berlaku untuk mereka yang menerima dan/atau mengangkut, membeli, memasarkan, dan/atau mengelola hasil dari kegiatan perkebunan.
    2. Melarang adanya pemalsuan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dan/atau penggunaan kawasan hutan dalam menggunakan perizinan berusaha yang palsu. Regulasi tersebut juga melarang memindahtangankan atau menjual perizinan berusaha.
    3. Mengenakan denda administratif dan/atau pencabutan izin berusaha bagi pelaku usaha yang tidak menyelesaikan persyaratan dalam kurun waktu tiga tahun karena telah membangun kebun di dalam kawasan hutan dan memiliki izin usaha.
  • Peraturan Menteri Pertanian No. 38 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan di Indonesia.

Sistem sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) merupakan prasyarat wajib yang ditetapkan pemerintah untuk perkebunan sawit yang bertujuan untuk memperbaiki tata kelola perkebunan kelapa sawit untuk lebih berkelanjutan. ISPO memiliki tujuan untuk memastikan bahwa prinsip keberlanjutan yang diatur dalam regulasi/kebijakan terkait dapat diterapkan, mendukung pencapaian komitmen iklim Indonesia, serta meningkatkan daya saing kelapa sawit Indonesia untuk di pasar domestik dan internasional.

Regulasi ISPO pertama kali dibuat pada tahun 2011 yang tertulis dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 19 tahun 2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan. Kemudian, pada tahun 2015, Permentan No. 19 tahun 2011 dicabut dan digantikan dengan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 11 Tahun 2015 tentang Sistem ertifikasi Kelapa Sawit yang kemudian diperbaharui lagi pada tahun 2020 dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 38 tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Perkebunan.

Permentan No. 38 Tahun 2020 mewajibkan kepada seluruh petani kelapa sawit; baik itu sebesar perusahaan atau pun perkebunan swadaya atau plasma untuk memiliki sertifikat ISPO. Pemberlakuan kewajiban untuk memiliki sertifikat ISPO terhitung sejak Perpres No. 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia diundangkan, sedangkan untuk perkebunan swadaya atau skala kecil 5 tahun setelahnya.

Permentan No. 38 Tahun 2020 hadir dengan pembaharuan melalui prinsip transparansi untuk menjawab problematic ketelusuran rantai pasok yang dinilai tidak menjamin aspek keberlanjutan. Selain itu, perlindungan hutan alam pada Permentan 38 Tahun 2020 dinilai lebih kuat dengan tidak menggunakan klausa hutan alam primer dan menggantinya dengan hutan alam yang artinya perlindungan hutan alam juga mencakup perlindungan hutan alam sekunder dengan catatan area tersebut masuk ke dalam Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB).

Muatan yang paling siginifikan dari Permentan No. 38 Tahun 2020 adalah disebutkannya Persetujuan Dasar Atas Informasi di Awal Tanpa Paksaan/FPIC yang penting untuk mengatasi dampak social yang diakibatkan oleh konflik agrarian terutama yang sering terjadi pada masyarakat adat dan lokal serta keterlibatan Pemantau Independen (PI) dalam pemantauan pelaksanaan sertifikasi ISPO.

  • Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Kehutanan.

Pada pasal 23 PP No. 23 Tahun 2021, disebutkan bahwa penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan negara dilakukan dengan penataan kawasan hutan dalam rangka pengukuhan kawasan hutan melalui kegiatan pengadaan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA), pengelolaan Perhutanan Sosial (PS), Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan serta Penggunaan Kawasan Hutan.

Penguasaan bidang tanah dalam kawasan hutan negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 wajib untuk memenuhi beberapa kriteria yang antaralain:

    1. Penguasaan tanah di dalam kawasan hutan negara oleh masyarakat dilakukan sebelum berlakunya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
    2. Dikuasai paling singkat 5 (lima) tahun secara terus menerus.
    3. Dikuasai oleh perseorangan dengan luasan paling banyak 5 (lima) hektar.
    4. Bidang tanah dikuasai secara fisik dengan itikad baik secara terbuka.
    5. Bidang tanah tidak bersengketa.

Penyelesaian bidang tanah yang telah dikuasai dan dimanfaatkan dan/telah diberikan hak diatasnya sebelum ditunjuk sebagai kawasan hutan, dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah dari kawasan hutan negara melalui perubahan batas kawasan, sedangkan pada bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan setelah bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan, diawali dengan inventarisasi dan verifikasi kemudian diselesaikan dengan beberapa pola penyelesaian yang terdiri atas:

    1. Mengeluarkan bidang tanah dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan.
    2. Pelepasan melalui perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan.
    3. Memberikan akses pengelolaan hutan melalui program Perhutanan Sosial.
    4. Penggunaan kawasan hutan.

Pola Penyelesaian Menyesuaikan Kepemilikan Bidang Tanah dan Fungsi Kawasan Hutan.

Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan Hutan Produksi dan kawasan Hutan Lindung. Kemudian pada Bab 3 pasal 58 menjelaskan bahwa Pelepasan Kawasan Hutan dilakukan pada Hutan Produksi Konversi (HPK) dan Hutan Produksi Tetap (HP) dapat dilakukan pelepasan hanya pada wilayah yang tidak produktif.

Pasal pada PP 23 tahun 2021 yang menjelaskan terkait kegiatan perkebunan di kawasan hutan diantaranya:

    1. Pasal 60 mengenai persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan untuk kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun dan memiliki Perizinan Berusaha di dalam kawasan hutan sebelum berlakunya Undang-Undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, diterbitkan pada Kawasan Hutan Produksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    2. Pasal 95 mengenai penggunaan kawasan hutan di luar kegiatan kehutanan untuk kegiatan perkebunan dan lainnya tanpa memiliki izin dibidang kehutanan sebelum berlakunya Undang-Undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dapat diterbitkan persetujuan penggunaan kawasan hutan setelah dipenuhinya sanksi administratif sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
  • Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2021 Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.

Peraturan ini merupakan bentuk pelaksanaan dari Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK). UUCK menerapkan prinsip ultimum remedium yaitu mengedepankan pengenaan sanksi administratif sebelum dikenai sanksi pidana terhadap pelanggaran yang bersifat administratif dan tidak menimbulkan dampak kesehatan, keselamatan dan/atau lingkungan.

Peraturan ini mengatur mengenai:

    • Inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha yang telah terbangun di dalam kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan bidang kehutanan.
    • Tata cara penyelesaian terhadap kegiatan usaha perkebunan sawit yang telah terbangun di dalam kawasan hutan yang memiliki Izin Lokasi (INLOK) dan/atau izin usaha dibidang perkebunan yang tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan.

Hal ini dilakukan melalui tahapan:

      • Pemberitahuan pemenuhan persyaratan perizinan di bidang kehutanan;
      • Pengajuan permohonan penyelesaian persyaratan perizinan di bidang kehutanan;
      • Verifikasi permohonan;
      • Penerbitan surat perintah tagihan pelunasan PSDH dan DR; serta
      • Penerbitan persetujuan pelepasan kawasan hutan di dalam kawasan Hutan Produksi atau persetujuan melanjutkan kegiatan usaha di dalam kawasan Hutan Lindung dan/atau kawasan Hutan Konservasi.

 

    • Tata cara pengenaan sanksi administratif terhadap kegiatan usaha di dalam kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan dibidang kehutanan. Sanksi yang akan dikenakan berupa penghentian sementara kegiatan usaha, denda administratif, dan/atau paksaan pemerintah seperti pemblokiran, pencegahan ke luar negeri, penyitaan assets, dan/atau paksa badan. Pelaku usaha juga wajib menyelesaikan pembayaran pajak sesuai dengan ketentuan perpajakan.
    • Tata cara perhitungan dengan administratif.
    • PNBP yang berasal dari denda administratif.
  • Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan.

Undang-undang ini menggantikan UU No. 18 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Undang-undang ini sudah melalui proses judicial review di Mahkamah Konstitusi dan permohonan para penggugat dikabulkan sebahagian. Dalam UU disebutkan bahwa kegiatan usaha budidaya tanaman perkebunan dan/atau usaha pengelolaan hasil perkebunan hanya dapat dilakukan apabila telah mendapatkan ha katas tanah dan/atau Izin Usaha Perkebunan Budidaya (IUP-B). Untuk mendapatkan IUP harus memenuhi persyaratan Izin Lingkungan, kesusuaian Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dan kesesuaian dengan rencana perkebunan.

Berikut beberapa aturan terkait operasional perkebunan:

    1. Perusahaan wajib mengusahakan lahan perkebunan paling lambat 3 tahun setelah pemberian status ha katas tanah, paling sedikit 30% dari luas hak atas tanah.
    2. Pejabat yang berwenang dilarang menerbitkan IUP di atas hak atas tanah ulayat masyarakat hukum adat, kecuali telah dicapai persetujuan antara masyarakat hukum adat dan pelaku usaha mengenai penyerahan tanah dan imbalannya.
    3. Pelaku usaha dilarang membuka dan/atau mengelola lahan dengan cara membakar.
    4. Perusahaan wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% dari total luas area kebun yang diusahakan oleh perusahaan.
    5. Setiap pelaku usaha wajib memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup, diantaranya dengan cara membuat Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) dan upaya pemantauan lingkungan hidup.
  • Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 2019 Tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan.

Sistem budidaya pertanian berkelanjutan merupakan paradigma pengelolaan pertanian yang mengintegrasikan empat elemen, yaitu: aspek lingkungan, social, budaya dan ekonomi, sehingga manfaat pertanian dapa dinikmati dalam waktu yang lama. Sistem ini dilakukan dengan memperhatikan daya dukung ekosistem, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, serta kelestarian lingkungan guna mewujudkan system pertanian yang maju, efisien, tangguh dan bekelanjutan.

Perencanaan budidaya pertanian diantaranya harus memperhatikan daya dukung sumber daya alam, iklim dan lingkungan; rencana pembangunan daerah dan nasional; rencana tata ruang; kepentingan masyarakat; dan kelestarian lingkungan hidup. Setiap pelaku usaha dilarang menggunakan cara yang mengganggu kesehatan dan/atau mengancam keselamatan manusia serta menimbulkan gangguan serta kerusakan sumber alam dan/atau lingkungan hidup. Sanksi administrasi jika melanggar yaitu teguran tertulis, denda administrative, penghentian sementara kegiatan usaha, penarikan produk dari peredaran, pencabutan izin usaha dan/atau penutupan usaha.

  • Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian.

Regulasi ini merupakan kebijakan pelaksana dari UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, salah satu yang dijelaskan dalam peraturan ini yaitu Batasan luas minimum dan maksimum penggunaan lahan untuk usaha perkebunan. Untuk perkebunan kelapa sawit maksimum 100.000 hektar berlaku untuk satu perusahan perkebunan secara nasional, luas minimum yang wajib dipenuhi yaitu 6.000 hektar yang dapat dipenuhi dari lahan miliki perusahaan ata dengan system kemitraan. Perusahaan yang melanggar ketentuan akan dikenai sanksi administrative yaitu peringatan tertulis, denda dan/atau pencabutan perizinan.

Selain itu, perusahaan yang mendapatkan perizinan yang lahannya berasal dari Areal Penggunaan Lain (APL) yang berada di luar HGU dan/atau areal yang berasal dari Pelepasan Kawasan Hutan (PKH), wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat 20% dari total luas lahan yang diusahakan. Perusahan yang tidak memenuhi ketentuan ini akan dikenai sanksi administrasi berupa denda, penghentian sementara dari kegiatan, dan/atau pencabutan perizinan.

  • Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2019 Tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Tahun 2019 s.d 2024.

Inpres ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas pekebun, penyelesaian status dan legalisasi lahan, pemanfaatan kelapa sawit sebagai salah satu Energi Baru Terbarukan (EBT) dan meningkatkan diplomasi untuk mencapai perkebunan sawit yang berkelanjutan.

Rencana aksi tersebut teridiri dari:

    1. Melakukan penguatan data, koordinatsi dan infrastruktur;
    2. Meningkatkan kapasitas dan kapabilitas pekebun;
    3. Melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan;
    4. Menerapkan tata kelola perkebunan dan penanganan sengketa;
    5. Melakukan dukungan percepatan pelaksana ISPO dan meningkatkan akses pasar produk sawit.

Beberapa tugas Kementrian Pertanian (KEMENTAN) diantaranya adalah melakukan penguatan data dasar perkebunan sawit, meningkatkan sosialisasi tentang regulasi dan kebijakan terkait usaha perkebunan sawit berkelanjutan, meningkatkan kepatuhan hukum pelaku usaha, meningkatkan kapasitas dan kapabilitas pekebun untuk penggunaan benih bersertifikat, meningkatkan akses pendanaan peremajaan perkebunan, melaksanakan pencegahan kebakaran kebun dan lahan, melaksanakan penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada kebun dan lahan, serta melakukan sosialisasi sertifikasi ISPO.

Sementara itu Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bertugas untuk meningkatkan upaya konservasi keanekaragaman hayati dan lanskap perkebunan sawit, menyelesaikan status lahan usaha perkebunan sawit yang terindikasi masuk dalam kawasan hutan dan ekosistem gambut, serta melakukan pengukuran, pelaporan dan verifikasi potensi penurunan emosi GRK di lahan perkebunan kelapa sawit.

Kementrian ATR BPN bertugas untuk melakukan penanganan sengketa lahan perkebunan sawit di Areal Penggunaan Lain dan legalisasi lahan hasil penyelesaian status perkebunan dalam kawasan hutan serta penyelesaian sengketa lahan. Gubernur/Bupati/Walikota bertugas untuk menyusun rencana aksi perkebunan sawit berkelanjutan pada tingkat provinsi/kabupaten/kota dan menerapkannya dalam berbagai kebijakan pemerintah daerah yang terkait dengan perkebunan sawit.

[1] Data eksisting tanaman sawit Yayasan KOMIU 2019.

Aktivitas KOMIUPerkebunan

Komentar Anda...