Palu- Lanskap ambunu merupakan salah satu bentang alam yang terdiri dari 7 daerah aliran sungai (DAS) dengan luas sekitar 21.982 Ha. Berdasarkan data mapbiomas koleksi 2.0. tahun 2000-2022, deforestasi pada lanskap ambunu mencapai 1.520,47 Ha. Lanskap ini secara administrasi berada di kecamatan bungku barat dan bumi raya Kabuapten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah, Indonesia. Lokasi ini merupakan pengembangan kawasan industri Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP) atau PT Baoshuo Taman Industry Invesment Group (BTIIG), pada informasi website perusahaan https://www.zhenshigroup.com/news/975.html. Rencana pengembangan kawasan industri ini mencapai 20.000 Ha, namun dalam rencana pengembangan tahap awal kawasan industri ini akan dibangun pada lahan seluas 7.840 Ha.
Saat ini, Lanskap ambunu telah menyediakan jasa ekosistem yang dimanfaatkan sebagai area persawahan seluas 2.002,04 Ha, lahan pertanian lainnya seluas 1.356,03 Ha, perkebunan kelapa sawit seluas 6.323,58 dan tambak seluas 276,23 Ha. Jika terealisasi 20.000 Ha, pengembangan kawasan industri ini tentunya hanya menyisakan 1.982 Ha dari luas lanskap yang ada. Hal ini dinilai berpengaruh signifikan terhadap keberlangsungan jasa ekosistem dan keanekaragaman hayati khsususnya burung endemik sulawesi pada wilayah tersebut.
Peta lanskap Ambunu dan Rencana pengembangan industri
Baca Juga : Hirilisasi nikel dan eksistensi keanekaragaman hayati pada lanskap ambunu, di Kabupaten Morowali. https://komiu.id/hirilisasi-nikel-dan-eksistensi-keanergaraman-hayati-pada-lanskap-ambunu-di-kabupaten-morowali/
Yayasan Kompas Peduli Hutan (KOMIU) pada 14 – 11 Desember 2023, melakukan pengamatan burung pada 3 tipe habitat di lanskap ambunu, habitat tersebut diantaranya; tambak & mangrove, sawah & sawit, dan kebun & hutan. Pada 3 habitat tersebut ditemukan 42 spesies burung dengan jumlah individu seluruh jenis mencapai 416 atau (N=416).
1. Spesies burung dilanskap ambunu.
Tabel jenis burung dilanskap ambunu
Keterangan :
TM : Tambak & Mangrove
SS : Sawah & Sawit
KH : Kebun & Hutan
*Endemik Pulau Sulawesi
**Burung Migran
2. Analisis Indeks Keanekaragaman Burung
Keanekaragaman burung di lanskap ambunu, dihitung dengan menggunakan indeks keanekaragaman (Diversity index) Shannon-Wienner (Odum, 1971), dengan rumus sebagai berikut:
H’= -∑ Pi ln (Pi), dimana Pi = (ni/N)
Keterangan:
H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener,
ni = Jumlah individu jenis ke-i
N = Jumlah individu seluruh jenis
Kriteria nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H’)
H’ ≤ 1 : keanekaragaman rendah
1< H’ < 3 : Keanekaragaman sedang
H’ ≥ 3 : Keanekaragaman tinggi
Tabel 2. Indeks Keragaman
3. Keanekaragaman Jenis Burung
Nilai indeks keanekaragaman (H’) burung dihabitat Tambak & Mangrove memiliki nilai keanekaragaman 1,32 dengan jumlah spesies sebanyak 20, pada habitat Sawah & Sawit memiliki nilai keanekaragaman 0,91 dengan jumlah spesies sebanyak 12, dan pada habitat Kebun & Hutan memiliki nilai keanekaragaman 0,75 dengan jumlah spesies sebanyak 16, dapat dilihat pada Tabel 2.
Hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa Tambak & Mangrove memiliki tingkat keanekaragaman sedang, sedangkan pada Sawah & Sawit dan Kebun & Hutan memiliki tingkat keanekaragaman rendah. Hal ini disebabkan pada habitat burung yang terletak pada Sawah & Sawit memiliki tegakan vegetasi yang seragam dan kurangnya ketersediaan pakan dihabitat tersebut sehingga hanya ada beberapa spesies burung tertentu saja yang banyak dijumpai pada habitat tersebut.
Menurut Bibby et al (2000) tegakan vegetasi berpengaruh pada keanekaragaman jenis burung, karena struktur tegakan vegetasi memberikan pengaruh nyata terhadap burung yang tinggal di dalam habitat tersebut.
https://www.youtube.com/watch?v=JQcBHsHav0k
Pada habitat Kebun & Hutan juga memiliki tingkat keanekaragaman rendah. Hal ini disebabkan pada hutan yang ada di kawasan tersebut telah mengalami deforestasi dan tutupan hutan yang terbuka. Menurut Welty (1982) modifikasi lingkungan alami menjadi lahan pertanian, perkebunan, kota, jalan raya dan kawasan industri berakibat buruk bagi burung. Walaupun modifikasi habitat alami dapat membawa keberuntungan bagi spesies-spesies tertentu, namun secara keseluruhan berakibat merusak kehidupan burung.
Reijnen et al (1995) juga mengatakan bahwa, aktivitas manusia dapat mempengaruhi komunitas burung di suatu habitat. Aktivitas yang dapat mempengaruhi komunitas burung, dapat disebabkan oleh habitat burung dekat dengan badan jalan dan kawasan industri, sehingga burung terganggu oleh kendaraan yang melintas dan tingkat kebisingan di sekitar habitat burung.
4. Komposisi dan Jenis Burung.
Komposisi spesies dan famili burung pada tiga habitat yang diamati berbeda di setiap habitat. Hal ini berkaitan dengan karakteristik habitat yang ada pada lokasi pengamatan berbeda-beda dimana pada habitat Tambak & Mangrove, Kebun & Hutan memiliki vegetasi yang beragam jenisnya sedangkan pada habitat Sawah & Sawit memiliki vegetasi yang seragam.
Sebanyak 42 jenis burung dari 25 famili yang teramati terdapat 1 spesies yang merupakan burung migran yaitu burung Kedidi Putih (Calidris alba) dan 10 spesies burung Endemik Sulawesi, diantaranya Cabai Panggul Kelabu (Dicaeum celebicum), Kadalan Sulawesi (Phaenicophaeus calyorhynchus), Serindit Sulawesi (Loriculus stigmatus), Kepudang Sungu Tunggir Putih (Coracina leucopygia), Julang Sulawesi (Rhyticeros cassidix), Celepuk Sulawesi (Otus manadensis), Kangkareng Sulawesi (Rhabdotorrhinus exarhatus), Elang Ular Sulawesi (Spilornis rufipectus), Kring-Kring Dada Kuning (Prioniturus flavicans).
Kedidi Putih (Calidris alba) adalah salah satu spesies burung pengicau yang terkenal karena perilaku migrasinya yang panjang. Kedidi Putih (Calidris alba) melakukan perjalanan migrasi jarak jauh setiap tahunnya, mengikuti musim utara dan musim dingin. Mereka bermigrasi dari wilayah beriklim dingin (Arktik dan subarktik) di musim panas ke wilayah yang lebih hangat dan subur di musim dingin. Kedidi Putih (Calidris alba) biasanya menghabiskan musim panas di wilayah pesisir utara seperti Greenland, Alaska, dan wilayah Arktik Eropa. Kedidi Putih kemudian bermigrasi ke selatan pada musim dingin dan bisa ditemukan di Amerika Utara, Eropa, Asia, dan Afrika. Kedidi Putih memiliki beberapa rute migrasi tergantung pada populasi dan wilayah mereka. Secara umum, mereka bermigrasi melintasi daratan dan/atau laut. Rute migrasi mereka dapat melibatkan perhentian di beberapa tempat terkenal seperti Delta Sungai Mississippi di Amerika Serikat, Pulau Long Point di Kanada, hingga Laut Kaspia di Asia Tengah.
Baca Juga : Kedidi Putih (Calidris Alba)
Menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature), Kedidi Putih (Calidris alba) diklasifikasikan sebagai spesies berstatus “Least Concern” (risiko rendah). Populasi Kedidi Putih diyakini cukup stabil, meskipun terdapat beberapa ancaman seperti hilangnya habitat pesisir akibat perkembangan manusia, limbah industri, dan perubahan iklim. Sedangkan Julang Sulawesi (Rhyticeros cassidix) dan Kangkareng Sulawesi (Rhabdotorrhinus exarhatus) masuk dalam kategori rentan dan menghadapi risiko kepunahan di alam liar. Dan Kring-Kring Dada Kuning (Prioniturus flavicans) dinyatakan mendekati terancam punah dalam waktu dekat.
Pengembangan kawasan industri Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP) atau PT Baoshuo Taman Industry Invesment Group (BTIIG), di duga akan mengancam habitat 10 spesies burung endemik sulawesi tersebut, hal ini dikarenakan sifat burung tersebut menetap disuatu area, sehingga jika terjadi perubahan pada habitatnya maka kemungkinan besar spesies tersebut akan mati atau berpindah. (Ahdiyat)