ALU(1/9/2016)- Kompas Peduli Hutan (KOMIU) “mengingatkan Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Tengah untuk lebih memperhatikan sektor pertanian pasca mekarnya 6 Kabupaten bagian timur Sulawesi Tengah menjadi Daerah Otonomi Baru (DOB) Provinsi Sulawesi Timur yang ber-ibukota di Luwuk.” Kata Septian Koordinator Kampanye KOMIU.
Hal tersebut dinilai akan berimbas pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Sulteng, dimana hampir semua sektor vital seperti tambang, perkebunan sawit dan gas alam yang selama ini mendongkrak pertumbuhan ekonomi Sulteng, berada di Daerah Otonomi Baru (DOB) Provinsi Sulawesi Timur.
Sebenarnya kami mengkrtisi pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) yang terkesan dipaksakan, alasan untuk kepentingan pelayanan rakyat itu hanya bahasa politik yang indah didengar, namun sebenarnya pemekaran tersebut merupakan kepentingan elit-elit lokal dan nasional yang tidak mendapat kekuasaan selama ini. Jika bicara pembukaan lapangan kerja dan pelayanan bagi rakyat terbukti dengan ditemukannya 800 tenaga kerja asing di perusahaan nikel di Morowali yang diterbitkan oleh Radar Sulteng (1-2/9/16). Padahal masih banyak penduduk kita yang belum memiliki pekerjaan dan kartu identitas lainnya agar dapat mengakses layanan publik. Jelasnya.
Mengantisipasi hal tersebut, pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah diperhadapkan dengan dua pilihan yaitu, membangun sektor pertanian ataukah lebih memilih investasi pertambangan dan perkebunan sawit seperti yang sebelumnya, demi mendongkrak pertumbuhan ekonomi pasca lepasnya Sulawesi Timur. Ujarnya.
Dua pilihan tersebut masing-masing memiliki konsekuensi yaitu: yang pertama, jika pemerintah Sulteng mendorong pertumbuhan ekonomi untuk meningkat PAD melalui investasi tambang dan perkebunan sawit, dipastikan akan terjadi krisis pangan dan konflik agraria akibat terjadinya konversi lahan kehutanan dan lahan pertanian untuk investiasi tersebut.
“Berdasarkan data BPS Sulteng dalam angka tahun 2016 yang di analisis, luasan padi sawah yang tersisa pada 6 Kabupaten 1 Kota di Provinsi Sulteng, seluas 178.059 Ha dengan produksi satu tahun terakhir mencapai 734.145 Ton, kemudian jika dibandingkan dengan jumlah penduduk terdapat 1. 959.455 Jiwa yang dalam setiap sebulan dapat mengkonsumsi beras mencapai 29.392 Ton dan setahun mencapai 352.701 Ton, serta sisanya hanya mencapai 371.445 Ton, itupun sebagai antisipasi jika terjadi gagal panen. Sejalan dengan hal diatas, jika terjadi konversi lahan maka luasan dan produktifitas sawah tersebut akan berkurang secara drastis yang mengakibatkan kelaparan dan konflik sosial”.
Hal Kedua, jika memilih mengembangkan lahan pertanian kemungkinan besar pertumbuhan ekonomi bisa naik, bisa turun dan stagnan, jika naik maka kenaikannya tidak signifikan seperti sebelumnya, namun keuntungannya adalah cadangan pangan masih cukup dan dapat mengantisipasi konflik sosial, kerusakan lingkungan serta dampak ikutan lainnya. Ungkapnya.
Jika harus memilih, Pemerintah Provinsi Sulteng harusnya lebih memperhatikan sektor lahan pangan sebagai bahan pertimbangan perubahan RTRW Sulteng kedepan, karena selama ini pemerintah hanya terfokus pada promosi disektor tambang dan perkebunan untuk menigkatkan PAD, yang selama ini mengakibatkan banyak perizinan tambang dan sawit tumpang tindih dengan wilayah kelola rakyat.
Dia juga menyarankan, Pemerintah Daerah segera mengidentifikasi blok minyak lepas pantai yang tersisa seperti Blok Balaesang dan Blok Tomini yang harapannya dapat dikelolah untuk kepentingan dalam negeri agar dapat membantu menstabilkan APBD Sulteng sebagai pilihan alternatif selain pengembangan pertanian. Tegasnya. (mk).